FotoYu Jadi Tren, Ahli Ingatkan Bahaya Privasi dan UU PDP
- Rita Puspita Sari
- •
- 31 Okt 2025 23.25 WIB
Ilustrasi Photographer
Fenomena penggunaan aplikasi FotoYu tengah menjadi sorotan publik. Di satu sisi, platform ini menawarkan kemudahan dalam menemukan dan mengelola foto secara otomatis dengan bantuan Artificial Intelligence (AI). Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran serius terkait privasi, etika, dan potensi pelanggaran hukum, terutama jika dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
AI yang Memudahkan Sekaligus Mengkhawatirkan
FotoYu menjadi populer karena fitur pintarnya mampu mengenali wajah seseorang dari ribuan foto secara otomatis. Pengguna tak perlu lagi menelusuri satu per satu hasil jepretan untuk mencari foto pribadi mereka. AI di dalam platform ini dapat mencocokkan wajah dengan cepat dan akurat.
Namun, kemudahan tersebut justru memunculkan kontroversi. Pasalnya, sistem AI FotoYu dikabarkan mampu mengidentifikasi wajah seseorang tanpa sepengetahuan atau izin yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana data biometrik seseorang boleh digunakan di ruang publik?
Ketua Lembaga Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menilai bahwa praktik seperti ini bisa menimbulkan persoalan etika dan hukum yang serius.
“Yang membuatnya kontroversial adalah kemampuan AI-nya mengenali wajah tanpa seizin pemilik wajah tersebut. Ini bukan hanya isu teknologi, tetapi juga persoalan hukum dan privasi,” ujar Pratama.
Wajah Termasuk Data Pribadi Spesifik
Menurut Pratama, wajah termasuk dalam kategori data pribadi spesifik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Data ini sangat sensitif karena bisa digunakan untuk mengidentifikasi seseorang secara unik.
Artinya, pengambilan, pemrosesan, atau penyimpanan data wajah harus mendapat persetujuan eksplisit (consent) dari pemilik data. Jika tidak, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
“Dalam kasus FotoYu, jika pengguna atau fotografer mengunggah foto orang lain tanpa izin, maka hal itu melanggar prinsip lawful processing dalam UU PDP,” jelas Pratama.
Ia menambahkan bahwa penggunaan AI untuk mencocokkan wajah seseorang dari database justru menambah kompleksitas masalah ini, karena terjadi proses pengolahan data biometrik yang diatur ketat oleh undang-undang.
Risiko Keamanan Siber dan Kebocoran Data
Selain dari aspek hukum, Pratama juga menyoroti sisi keamanan siber. Ia memperingatkan bahwa data wajah yang tersimpan di platform semacam FotoYu berisiko tinggi menjadi target peretasan, terutama jika sistem keamanannya tidak memadai.
“Data wajah yang diunggah bisa jadi target empuk bagi peretas, apalagi kalau sistem platform tidak dilengkapi enkripsi dan kontrol akses yang kuat,” tegasnya.
Kebocoran data wajah jauh lebih berbahaya dibanding kebocoran data lain seperti email atau nomor telepon. Sebab, identitas biologis tidak dapat diganti, sehingga penyalahgunaan data ini dapat berdampak permanen bagi korban.
Data biometrik yang bocor bisa digunakan untuk pengenalan wajah massal, penipuan identitas, hingga pembuatan konten deepfake yang memanipulasi wajah seseorang secara digital.
Dampak Sosial dan Psikologis di Ruang Publik
Fenomena seperti FotoYu juga berdampak sosial. Banyak masyarakat merasa tidak nyaman berada di ruang publik, karena aktivitas mereka bisa terekam, dikenali, bahkan disebarluaskan tanpa izin.
Pratama menilai bahwa kondisi ini dapat menimbulkan efek psikologis berupa rasa diawasi terus-menerus (surveillance anxiety). Jika dibiarkan, hal ini bisa mengubah perilaku sosial masyarakat dan menurunkan rasa aman di ruang publik.
“Fenomena seperti ini menciptakan kesan bahwa ruang publik tak lagi benar-benar publik. Setiap aktivitas bisa dipantau dan dimonetisasi tanpa kendali,” jelasnya.
Fotografer Juga Bisa Terjerat UU PDP
Selain pengguna, fotografer profesional juga diingatkan agar memahami batasan hukum dalam menggunakan aplikasi semacam FotoYu. Menurut Pratama, hak cipta atas foto tidak menghapus hak privasi subjek yang difoto.
Jika fotografer mengunggah foto seseorang tanpa persetujuan jelas, maka mereka berisiko melanggar ketentuan UU PDP.
Undang-undang ini secara tegas melarang pengolahan data pribadi tanpa dasar hukum yang sah.
“Fotografer perlu menyadari bahwa tanggung jawab hukum tidak berhenti pada hak cipta saja. Tanpa mekanisme persetujuan yang sah, mereka bisa dijerat pasal pelanggaran data pribadi,” ujarnya.
UU PDP sendiri mengatur sanksi administratif bagi pelanggar, mulai dari teguran, penghentian kegiatan, hingga denda miliaran rupiah.
Bahkan, jika pelanggaran dilakukan untuk tujuan komersial, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (1) UU PDP, dengan ancaman penjara maksimal lima tahun atau denda hingga Rp5 miliar.
Perlunya Regulasi dan Kesadaran Etis
Kasus FotoYu ini menjadi contoh nyata bagaimana kemajuan teknologi AI bisa berbenturan dengan nilai-nilai privasi. Di tengah perkembangan inovasi digital, perlindungan data pribadi harus menjadi prioritas.
Pemerintah dan pengembang aplikasi dinilai perlu memperkuat mekanisme izin, transparansi, dan keamanan data agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.
Di sisi lain, masyarakat juga diimbau untuk lebih berhati-hati dalam mengunggah atau membagikan foto di ruang digital. Kesadaran akan privasi menjadi penting agar tidak mudah menyerahkan data biometrik kepada pihak yang tidak jelas keamanannya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa setiap inovasi teknologi harus diimbangi dengan tanggung jawab etis, keamanan sistem, dan kepatuhan terhadap hukum, agar kemajuan digital tidak berujung pada pelanggaran hak dasar manusia: hak atas privasi.
