Menuju 2026, Konektivitas IoT Global Alami Perubahan Besar
- Rita Puspita Sari
- •
- 1 hari yang lalu
Ilustrasi Internet Of Things
Selama lebih dari satu dekade, Internet of Things (IoT) digadang-gadang sebagai tulang punggung transformasi digital global. Mulai dari industri manufaktur, logistik, energi, hingga kota pintar, miliaran perangkat terhubung dijanjikan mampu menghadirkan efisiensi, visibilitas, dan otomatisasi dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, di balik janji besar tersebut, banyak perusahaan justru menghadapi kenyataan pahit: mengelola konektivitas IoT global ternyata jauh lebih rumit daripada membangunnya.
Memasuki tahun 2026, industri IoT diperkirakan akan memasuki fase krusial yang disebut sebagai “great re-alignment”. Ini bukan sekadar evolusi teknologi, melainkan perubahan mendasar dalam cara perusahaan memandang, mengelola, dan membeli layanan konektivitas IoT. Perusahaan mulai menyadari bahwa pendekatan lama—yang mengandalkan pengelolaan mandiri atau do-it-yourself (DIY)—tidak lagi berkelanjutan di tengah kompleksitas jaringan global yang kian meningkat.
Janji Manis IoT vs Realitas Operasional
Bagi para CIO dan pemimpin TI yang bertanggung jawab atas ribuan bahkan jutaan perangkat IoT di berbagai negara, satu dekade terakhir diwarnai oleh satu masalah klasik: kesenjangan antara visi strategis dan realitas operasional. Di atas kertas, IoT terlihat sederhana—perangkat dipasang, terhubung ke jaringan seluler, lalu data mengalir ke sistem pusat. Namun di lapangan, ceritanya jauh berbeda.
Perusahaan harus berurusan dengan beragam operator seluler, kontrak roaming yang berbeda-beda, regulasi lokal yang ketat, serta standar teknis yang terus berubah. Banyak organisasi akhirnya membangun infrastruktur IoT global dengan cara “tambal sulam”: menambah operator di satu negara, mengganti modul komunikasi di negara lain, dan menyesuaikan ulang sistem backend setiap kali ada perubahan jaringan.
Model ini mungkin masih bisa bertahan beberapa tahun lalu. Namun menurut Eseye, kompleksitas konektivitas IoT kini telah mencapai titik kritis. Tim internal perusahaan tidak lagi mampu mengelola semua risiko ini sendiri. Akibatnya, semakin banyak organisasi memilih “jalan aman” dengan beralih ke layanan terkelola (managed services), yang memindahkan sebagian besar risiko teknis dan operasional ke pihak penyedia.
Tantangan IoT yang Telah Berubah
Jika dulu tantangan utama IoT adalah “bagaimana caranya agar perangkat bisa terhubung”, kini fokusnya telah bergeser. Di era modern, koneksi saja tidak cukup. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana mengelola konektivitas IoT global secara cerdas, aman, stabil, dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Perangkat IoT bukan ponsel yang diganti setiap dua atau tiga tahun. Banyak aset industri memiliki umur pakai 10 hingga 15 tahun. Artinya, keputusan desain yang diambil hari ini harus tetap relevan hingga satu dekade ke depan. Inilah yang membuat perencanaan konektivitas menjadi semakin krusial.
Dunia dengan Jaringan Seluler Dua Kecepatan
Salah satu pemicu utama “great re-alignment” ini adalah terbelahnya infrastruktur seluler global. Di satu sisi, Amerika Serikat dan kawasan Asia-Pasifik bergerak cepat mengadopsi 5G Standalone (SA), yang menawarkan latensi sangat rendah, performa tinggi, serta fitur lanjutan seperti network slicing. Di sisi lain, Eropa justru tertinggal.
Menurut Adam Hayes, COO Eseye, banyak operator Eropa menghadapi keterbatasan modal akibat regulasi roaming yang ketat. Alih-alih membangun 5G SA secara penuh, mereka memilih pendekatan 5G Non-Standalone (NSA)—solusi transisi yang masih bergantung pada inti jaringan 4G. Meski lebih cepat dari 4G murni, 5G NSA tidak mampu menghadirkan seluruh potensi 5G.
Situasi ini menciptakan dilema besar bagi perusahaan global. Perangkat IoT yang dipasang hari ini harus mampu beroperasi di lingkungan jaringan yang sangat terfragmentasi: 4G di satu wilayah, 5G NSA di wilayah lain, dan 5G SA di pasar yang lebih maju. Kesalahan strategi bisa berujung pada perangkat yang usang sebelum waktunya.
Mengapa iSIM dan Satu Desain Tidak Lagi Aman
Fragmentasi jaringan global inilah yang membuat adopsi teknologi integrated SIM (iSIM) berjalan lebih lambat dari perkiraan. Banyak insinyur ragu untuk mengunci perangkat pada satu desain atau satu teknologi jaringan, karena lanskap konektivitas masih terus berubah.
Alih-alih mengejar efisiensi maksimal, pendekatan paling rasional menjelang 2026 justru bersifat defensif: merancang perangkat IoT yang mendukung berbagai jenis jaringan (multi-RAT). Strategi ini memang menambah kompleksitas awal, tetapi secara signifikan mengurangi risiko kegagalan di masa depan.
Jebakan IoT DIY di Tahun 2026
Di atas kertas, standar baru SGP.32 eUICC terlihat seperti solusi ideal. Standar ini memungkinkan perusahaan berpindah operator dengan lebih fleksibel dan tidak lagi terikat pada satu penyedia. Namun, di balik fleksibilitas tersebut, tersembunyi jebakan besar.
Paul Marshall, Co-Founder dan CCO Eseye, menyebut fenomena ini sebagai “ilusi DIY”. Banyak perusahaan mengira bahwa dengan mengontrol sendiri profil operator, mereka akan mendapatkan kebebasan penuh. Kenyataannya, mereka justru mengambil peran baru sebagai operator virtual—lengkap dengan segala beban dan risikonya.
Perusahaan harus menegosiasikan kontrak dengan banyak operator, mengelola penagihan lintas mata uang, memastikan kepatuhan regulasi di berbagai negara, serta menyediakan dukungan teknis lintas zona waktu. Dari sisi teknis, setiap perpindahan profil operator juga memerlukan pengujian ketat agar perangkat tetap berfungsi normal.
Beban ini sering kali baru terasa ketika proyek IoT sudah berjalan. Tak heran jika pada 2026, banyak perusahaan diprediksi akan melakukan “putar balik”, setelah tim keuangan menyadari bahwa biaya dan risiko DIY jauh lebih besar dibandingkan manfaatnya.
Masa Depan SGP.32: Fondasi Layanan Terkelola
Bukan berarti SGP.32 akan gagal. Sebaliknya, standar ini justru akan menjadi fondasi penting bagi layanan IoT terkelola. Alih-alih digunakan langsung oleh perusahaan, kompleksitas SGP.32 akan “disembunyikan” di balik satu kontrak sederhana dengan penyedia layanan yang memang dirancang untuk menangani skala global.
Dengan pendekatan ini, perusahaan tetap mendapatkan fleksibilitas teknologi tanpa harus menanggung beban operasional yang berat.
Operator Seluler di Persimpangan Jalan
Tekanan besar juga dirasakan oleh operator jaringan seluler (MNO). Banyak platform IoT lama milik operator dibangun di atas teknologi generasi sebelumnya, dengan biaya operasional yang tinggi. Model ini tidak cocok untuk IoT, yang umumnya menghasilkan pendapatan kecil per perangkat.
Ian Marsden, CTO Eseye, memprediksi bahwa pada 2026, MNO harus menentukan arah bisnis yang jelas. Ada dua jalur yang mungkin diambil. Jalur pertama adalah mundur atau memisahkan bisnis IoT untuk melindungi bisnis konsumen yang lebih menguntungkan. Jalur kedua adalah bermitra dengan penyedia konektivitas spesialis untuk membangun model IoT yang lebih efisien.
Bagi perusahaan pengguna IoT, kondisi ini menimbulkan risiko baru: stabilitas vendor. Memilih mitra tanpa strategi yang jelas bisa berarti mewarisi sistem lama yang mahal dan sulit dikembangkan.
Fixed Wireless Access: Bintang Baru 5G
Di tengah semua tantangan tersebut, satu aplikasi 5G akhirnya benar-benar menunjukkan nilai nyatanya: Fixed Wireless Access (FWA). Alih-alih teknologi futuristik seperti mobil otonom, FWA menjawab kebutuhan sederhana namun vital—koneksi internet andal di lokasi yang sulit dijangkau serat optik.
Tony Byrne, CEO Eseye, menyebut FWA sebagai “aplikasi pembunuh 5G yang tersembunyi di depan mata”. Pada 2026, operator diperkirakan akan mengemas FWA sebagai layanan terkelola lengkap, menjadikannya opsi konektivitas utama bagi bisnis dan infrastruktur kota pintar.
Data IoT sebagai Penjaga AI
Pada akhirnya, seluruh evolusi konektivitas IoT ini memiliki tujuan yang lebih besar: mendukung era AI otonom. Dunia bergerak menuju AIoT, di mana sistem AI secara mandiri mengelola operasi industri dan rantai pasok.
Namun AI memiliki satu kelemahan besar: tanpa data yang akurat, AI bisa membuat kesimpulan yang salah. Data real-time dari perangkat IoT menjadi satu-satunya “kebenaran dasar” yang menjaga AI tetap rasional.
Contohnya, Volvo Group menghubungkan ratusan juta aset untuk memasok data bagi sistem AI perawatan prediktif. Dalam konteks ini, konektivitas bukan lagi sekadar biaya operasional, melainkan aset strategis.
Akhir dari Era “Cukup Baik”
Tahun 2026 menandai berakhirnya era konektivitas IoT yang “cukup baik”. Great re-alignment menuntut perusahaan untuk mengevaluasi ulang seluruh strategi konektivitas mereka—mulai dari teknologi, model operasional, hingga pilihan mitra.
Di dunia IoT modern, ketahanan operasional tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling cepat terhubung, tetapi oleh siapa yang mampu mengelola konektivitas global secara cerdas, aman, dan berkelanjutan.
