Gaya Flexing di Medsos: Antara Hiburan dan Tekanan Sosial
- Rita Puspita Sari
- •
- 7 jam yang lalu

Ilustrasi Flexing
Di era digital saat ini, media sosial bukan lagi sekadar sarana untuk berkomunikasi, melainkan juga menjadi wadah untuk mengekspresikan diri. Namun, ada satu fenomena yang semakin marak ditemui di berbagai platform: flexing. Istilah ini kerap digunakan untuk menggambarkan perilaku pamer kekayaan, kebahagiaan, atau kesuksesan di dunia maya.
Meski sekilas terlihat wajar, ternyata flexing menyimpan sisi lain yang perlu dicermati. Dari penyebab, tujuan, hingga dampaknya terhadap kesehatan mental, fenomena ini memberi gambaran betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk perilaku manusia modern.
Apa Itu Flexing?
Flexing merupakan istilah slang dalam bahasa Inggris yang berarti memamerkan sesuatu. Dalam konteks media sosial, flexing biasanya merujuk pada tindakan menunjukkan kekayaan, pencapaian, atau gaya hidup mewah kepada publik.
Misalnya, seseorang memposting foto liburan di resort mahal, mengunggah koleksi tas branded, atau memperlihatkan mobil sport terbaru. Tujuannya tentu bukan hanya sekadar berbagi momen, tetapi juga mencari pengakuan dan validasi dari orang lain.
Namun, tidak semua flexing dilakukan secara terang-terangan. Ada pula yang menggunakan gaya “humble bragging”, yaitu pamer terselubung dengan cara merendah. Contohnya, menulis status seperti “Akhirnya bisa beli rumah kedua, meskipun masih sederhana”. Sekilas tampak rendah hati, tetapi sebenarnya tetap bertujuan untuk menunjukkan keberhasilan.
Penyebab Seseorang Melakukan Flexing
Fenomena flexing tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor yang mendorong seseorang melakukan perilaku ini, di antaranya:
-
Perasaan Rendah Diri
Banyak orang melakukan flexing karena merasa kurang percaya diri. Mereka berharap dengan memamerkan kesuksesan atau kebahagiaan, orang lain akan memberikan apresiasi. Dengan demikian, mereka merasa lebih dihargai. -
Tekanan Sosial
Media sosial sering kali menampilkan “kehidupan sempurna” orang lain. Ketika melihat teman atau selebriti yang terlihat sukses, seseorang bisa merasa tertinggal. Hal ini mendorong mereka untuk ikut-ikutan memamerkan pencapaian, meskipun terkadang tidak sesuai kenyataan. -
Kebiasaan Membandingkan Diri
Rasa ingin bersaing juga menjadi penyebab flexing. Ketika seseorang terbiasa membandingkan hidupnya dengan orang lain, ia terdorong untuk membuktikan bahwa dirinya juga mampu atau bahkan lebih baik. -
Dukungan Finansial
Bagi orang yang memiliki kondisi finansial mapan, flexing menjadi lebih mudah dilakukan. Mereka memang memiliki kemampuan untuk membeli barang mewah atau menikmati liburan eksklusif.
Tujuan di Balik Perilaku Flexing
Meskipun terlihat sederhana, flexing sering dilakukan dengan tujuan tertentu. Beberapa di antaranya:
-
Mencari Validasi dan Pengakuan
Dalam psikologi, validasi merupakan kebutuhan manusia untuk merasa diterima dan diakui. Flexing menjadi salah satu cara cepat mendapatkan pujian, likes, dan komentar positif yang bisa meningkatkan rasa percaya diri. -
Meningkatkan Status Sosial
Kekayaan dan pencapaian seringkali identik dengan status sosial. Dengan memamerkan gaya hidup mewah, seseorang berharap dipandang lebih tinggi, berkelas, atau sukses oleh lingkungannya. -
Membangun Personal Branding
Bagi influencer atau tokoh publik, flexing kadang dilakukan sebagai strategi membangun citra diri. Misalnya, seorang travel blogger yang sering memamerkan perjalanan ke destinasi eksotis. Hal ini bisa menarik perhatian merek atau sponsor, sekaligus memperkuat personal branding. -
Menutupi Kekurangan atau Masalah Pribadi
Tidak jarang flexing digunakan sebagai tameng untuk menutupi kekurangan atau kesulitan yang sedang dihadapi. Seseorang bisa saja sedang mengalami masalah finansial, tekanan kerja, atau konflik pribadi, tetapi memilih menampilkan citra bahagia dan sukses di media sosial. Dengan begitu, mereka berharap orang lain tidak mengetahui kondisi sebenarnya. -
Menarik Perhatian dan Popularitas
Media sosial sering kali mendorong orang untuk tampil berbeda agar mendapat sorotan. Flexing menjadi salah satu cara cepat untuk menarik perhatian, memperbanyak pengikut, atau mendapatkan status populer. Bagi sebagian orang, popularitas ini bisa mendatangkan keuntungan, mulai dari peluang bisnis hingga tawaran kerja sama dengan berbagai pihak.
Sisi Gelap Flexing
Meskipun bisa dipahami sebagai upaya memenuhi kebutuhan psikologis atau membangun personal branding, flexing memiliki sejumlah sisi negatif yang patut diperhatikan:
-
Inauthenticity (Ketidakaslian)
Flexing yang dilakukan secara berlebihan menciptakan citra palsu. Individu berusaha menampilkan dirinya sebagai sosok yang sempurna—selalu bahagia, sukses, dan hidup mewah. Padahal, realitasnya bisa jauh berbeda. Ketidakaslian ini berpotensi merusak hubungan sosial karena orang lain hanya mengenal “topeng” yang ditampilkan, bukan diri yang sebenarnya. -
Perbandingan Sosial Negatif
Ketika orang terus-menerus melihat konten flexing, muncul kecenderungan untuk membandingkan hidupnya dengan orang lain. Perbandingan ini seringkali bersifat tidak sehat dan bisa memicu rasa iri, rendah diri, hingga kecemasan. -
Tekanan Finansial
Bagi sebagian orang, flexing bukan hanya sekadar memamerkan apa yang mereka miliki, melainkan juga sebuah kewajiban untuk mempertahankan citra. Hal ini bisa menjerumuskan seseorang pada pengeluaran berlebihan, gaya hidup konsumtif, bahkan berutang demi tampil mewah di media sosial.
Akibat Tindakan Flexing
Fenomena flexing membawa dampak negatif tidak hanya bagi pelakunya, tetapi juga bagi masyarakat luas. Berikut beberapa akibat yang umum terjadi:
-
Selalu Merasa Tidak Cukup
Orang yang terpapar konten flexing bisa merasa hidupnya tidak cukup baik. Misalnya, ketika melihat teman sering liburan ke luar negeri atau membeli barang branded, seseorang bisa merasa gagal meskipun sebenarnya ia sudah memiliki kehidupan yang layak. -
Salah Persepsi tentang Kebahagiaan
Flexing menanamkan anggapan bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai lewat kekayaan dan kesuksesan materi. Padahal, kenyataan tidak sesederhana itu. Hal ini bisa membuat banyak orang terjebak dalam pola pikir keliru dan sulit merasa puas dengan kehidupannya sendiri. -
Stres bagi Pelaku
Bagi yang gemar flexing, tekanan justru muncul dari dalam diri. Mereka merasa harus terus mempertahankan citra sempurna. Persaingan untuk selalu tampil lebih hebat dari orang lain menimbulkan stres berkepanjangan, bahkan depresi. -
Isolasi Diri
Ketika citra palsu sulit dipertahankan, pelaku flexing bisa merasa malu atau tidak nyaman berinteraksi dengan orang lain. Kondisi ini dapat memicu isolasi sosial, yang membuat hubungan personal maupun profesional terganggu. -
Rasa Iri yang Berbalik ke Pelaku
Menariknya, orang yang gemar flexing sering kali justru lebih mudah merasa iri. Ketika ada orang lain yang tampak lebih sukses, mereka merasa tersaingi. Akibatnya, mereka tidak pernah benar-benar bahagia karena selalu merasa kurang.
Fenomena Flexing di Indonesia
Di Indonesia, kasus flexing sudah beberapa kali mencuri perhatian publik. Misalnya, tren “crazy rich” yang muncul di TikTok atau Instagram, di mana individu memperlihatkan rumah mewah, mobil sport, hingga saldo rekening fantastis. Tak jarang, kasus seperti ini berakhir dengan kontroversi ketika terungkap bahwa sebagian dari mereka sebenarnya tidak memiliki kekayaan seperti yang dipamerkan.
Contoh lainnya adalah kasus flexing pejabat atau anak pejabat yang memamerkan gaya hidup mewah di media sosial, yang pada akhirnya menimbulkan kecurigaan publik terkait sumber kekayaan mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa flexing tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga bisa menimbulkan gejolak sosial dan isu integritas di masyarakat.
Mengapa Flexing Begitu Berbahaya?
Ada beberapa alasan mengapa flexing bisa menjadi masalah serius:
-
Menciptakan Ilusi Kehidupan yang Tidak Nyata: Flexing membuat banyak orang percaya bahwa hidup sempurna itu nyata, padahal yang terlihat hanyalah potongan kecil dari kehidupan seseorang.
-
Mendorong Konsumerisme: Media sosial menjadi ajang pamer barang-barang mewah, yang secara tidak langsung menanamkan nilai bahwa kebahagiaan bisa dibeli.
-
Melemahkan Kesehatan Mental: Baik pelaku maupun penonton bisa sama-sama terjebak dalam perasaan tidak cukup, stres, dan kecemasan sosial.
Cara Menghindari Perilaku Flexing
Melihat berbagai sisi gelap flexing, penting bagi kita untuk mencari cara agar tidak terjebak dalam perilaku ini. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
-
Tingkatkan Kesadaran Diri
Sebelum mengunggah sesuatu di media sosial, tanyakan pada diri sendiri: apakah tujuan saya berbagi konten ini? Jika alasannya hanya untuk mencari pengakuan atau menunjukkan status sosial, sebaiknya pertimbangkan ulang. -
Buat Batasan dalam Bermain Media Sosial
Terlalu lama berselancar di media sosial meningkatkan peluang terpapar konten flexing. Cobalah membuat batasan, misalnya hanya 1–2 jam sehari. Hal ini membantu menjaga kesehatan mental dan mengurangi dorongan membandingkan diri dengan orang lain. -
Fokus pada Hal yang Benar-Benar Penting
Alihkan energi untuk membangun hal nyata dalam kehidupan, seperti hubungan dengan keluarga, pengembangan diri, atau kegiatan produktif. Dengan begitu, kepuasan batin tidak lagi bergantung pada validasi eksternal. -
Hindari Kebiasaan Membandingkan Diri
Ingat bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan membuat kita merasa gagal. Fokuslah pada pertumbuhan diri sendiri. -
Gunakan Media Sosial secara Positif
Jadikan media sosial sebagai sarana berbagi inspirasi, pengetahuan, atau pengalaman berharga. Dengan begitu, kita bisa memberi nilai tambah bagi orang lain, bukan sekadar pamer.
Menyikapi Flexing dengan Bijak
Flexing memang sulit dihindari. Namun, alih-alih memandangnya sebagai sesuatu yang sepenuhnya buruk, kita bisa belajar untuk lebih kritis. Ketika melihat konten flexing, ingatlah bahwa itu hanyalah potongan kecil dari kehidupan seseorang. Jangan terjebak untuk menilai diri sendiri atau orang lain berdasarkan apa yang ditampilkan di media sosial.
Selain itu, penting juga untuk menumbuhkan budaya digital yang sehat. Orang tua bisa mengajarkan anak-anaknya tentang literasi digital sejak dini, termasuk cara menyikapi konten flexing. Sekolah dan komunitas juga bisa berperan dalam menyebarkan kesadaran bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh kekayaan atau penampilan di dunia maya.
Kesimpulan
Flexing di media sosial adalah fenomena yang tumbuh seiring perkembangan era digital. Perilaku ini lahir dari kebutuhan akan validasi, tekanan sosial, hingga strategi personal branding. Meski bisa memberi keuntungan dalam hal citra diri, flexing juga membawa dampak negatif, baik bagi pelaku maupun orang lain.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk bersikap bijak dalam menggunakan media sosial. Jangan mudah terjebak pada citra semu yang ditampilkan orang lain, dan jangan pula merasa perlu untuk selalu menunjukkan sisi terbaik diri. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menjalani hidup dengan bahagia, tanpa harus membandingkan diri dengan standar orang lain di dunia maya.